Raja-raja Demak Sebagai Pelindung Agama Islam Di Jawa Tengah

.


Bagian yang tertua dari Masjid Demak yang amat suci itu, yaitu pengimaman, mungkin sudah dibangun pada perempat terakhir abad ke-15. Jelaslah bahwa masjid tersebut telah meraih nama harum di Jawa Tengah sebagai masjid agung dari kerajaan Islam yang pertama di negeri ini. Oleh sebab itu, penting mengumpulkan keterangan yang menyangkut hubungan raja-raja Demak dengan agama Islam dan golongan santri.

Jemaah beserta masjid yang mereka bangun sendiri merupakan permulaan pengislaman Pulau Jawa. Jemaah ini diketahui oleh para imam, yang semula mendapatkan kekuasaan dengan jalan memimpin salat wajib lima waktu. Kekuasaan rohani para imam masjid ini sudah sejak zaman awal penyebaran agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam meluas meliputi bidang kehidupan masyarakat: pada asasnya, agama Islam tidak mengakui adanya perbedaan antara hal rohani dan hal duniawi. Suatu hal yang berarti, di Jawa para imam masjid hampir selalu disebut "penghulu". Kata "penghulu" di tanah Melayu berarti "kepala" pada umumnya, tanpa arti khusus di bidang rohani.
Dalam Hikayat Hasanuddin, sejarah singkat tentang raja-raja Banten, terdapat suatu bagian yang seluruhnya mengisahkan kelima imam Masjid Demak. Pemberitaan mereka dalam kronik Banten ini dapat dihubungkan dengan kenyataan bahwa penyusunnya ternyata menaruh minat terhadap soal-soal kerohanian. Mungkin ia sendiri termasuk kelompok santri. Dapatlah dimengerti jika baik Tome Pires, orang Portugis itu, maupun penulis-penulis Belanda pada waktu-waktu kemudian, sedikit pun tidak membuat catatan mengenai imam-imam masjid. Jadi, berita-berita Jawa tidak dapat dibandingkan dengan berita-berita Barat. Kemungkinan pemberitaan-pemberitaan tentang kelima imam Demak itu dapat dipercaya pada pokoknya berdasarkan sifatnya sebagai kronik keluarga. Mungkin yang menjadi dasar pemberitaan-pemberitaan tersebut ialah suatu silsilah tua yang autentik. Maka dari itu, ada baiknya membicarakan berita-berita tentang imam-imam Demak dalam uraian berikut ini sehubungan dengan sejarah dinasti Demak.
Imam pertama di Masjid Demak konon ialah Pangeran Bonang, putra Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta (Surabaya). Ia telah dipanggil oleh "Pangeran Ratu" di Demak itu untuk memangku jabatan itu. Selang berapa lama ia telah meletakkan jabatan itu untuk pergi, mula-mula ke Karang Kemuning, kemudian ke Bonang, dan akhirnya ke Tuban; di tempat itu ia meninggal. Buku Sadjarah Dalem, suatu silsilah raja-raja Mataram-Surakarta, menyusun urutan tempat kediaman tersebut secara lain: Surabaya, Karang Kemuning, Tuban, Ngampel Denta, Demak. la juga diberi nama Pangeran Makdum Ibrahim dan Sunan Wadat Anyakra Wati; menurut cerita ia hidup membujang atau setidak-tidaknya tidak meninggalkan anak.
Menurut Hikayat Hasanuddin, keempat imam Masjid Demak yang, berikut ini semuanya masih berkerabat dengan putri Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta, yang diberi nama Nyai Gede Pancuran, sesuai dengan nama tempat tinggalnya yang kemudian. Ia konon kawin dengan Pangeran Karang Kemuning, seorang alim ulama dari "Atas Angin" dari Barat, mungkin orang Melayu atau orang yang berasal dari India atau Arab, yang bernama Ibrahlm. Karang Kemuning itu tempat kedudukan Aria Timur, raja Jepara. "Pangeran Atas Angin" ini konon anak Pangeran Bonang. Pada akhir hidupnya ia pergi ke Surabaya, tempat ia wafat dan dimakamkan di samping ayah mertuanya, Pangeran Rahmat dari Ngampel Denta. Janda dan keluarganya pergi ke Tuban, tempat tinggal saudaranya, Pangeran Bonang. la menetap di Pancuran. Sejak itu ia diberi nama sesuai dengan tempat tersebut. Menurut cerita, ia mempunyai mukjizat. Adipati Tuban pun sangat menghormatinya. Pada akhir hidupnya janda itu kembali ke Surabaya, dan dimakamkan dekat ayah dan suaminya.
Menurut Hikayat Hasanuddin, imam kedua Masjid Demak ialah suami cucu Nyai Gede Pancuran. la diberi nama Makdum Sampang. Ayahnya berasal dari Majapahit. Makdum Sampang selama beberapa waktu tinggal di rumah ipar perempuannya, Nyai Pembarep, juga cucu Nyai Gede Pancuran, dan janda Kalipah Husain, yang juga seorang alim ulama dari "Sabrang". Konon, mereka bertempat tinggal di Undung (dekat Kudus sekarang). Dari situ Makdum Sampang pindah berturut-turut ke Surabaya, ke Tuban, dan ke Demak. Di tempat-tempat itu ia selalu memangku jabatan imam. Kepergiannya dari Tuban itu disebabkan ia merasa sangat keberatan untuk bekerja di bawah kekuasaan seorang adipati yang masih bersikap sebagai abdi maharaja Majapahit yang "kafir" itu. Itulah sebabnya ia memenuhi panggilan "Pangeran Ratu" Demak, untuk menjadi imam di masjid setempat. Setelah wafat dalam usia lanjut, konon ia dimakamkan di sebelah barat masjid yang termasyhur itu.
Makdum Sampang sebagai imam diganti oleh anaknya, yang dalam Hikayat Hasanuddin disebut Kiai Gedeng Pambayun ing Langgar. Tidak lama kemudian ia bersama ibunya pindah ke Jepara, untuk menjadi imam di sana. Mereka berdua, dan sesudah mereka juga beberapa sanak saudara lainnya, dimakamkan di sana, di gunung keramat Danareja.
Imam keempat Masjid Demak, menurut Hikayat Hasanuddin, konon seorang saudara sepupu dari pihak ibu imam pendahulunya. Jelasnya: ia anak Nyai Pambarep, yaitu ipar perempuan Makdum Sampang. la mendapat gelar Penghulu Rahmatullah dari Undung. la dipanggil oleh adipati Sabrang Lor untuk memangku jabatan itu dan ia gugur "dalam pertempuran". la dimakamkan dekat Masjid Demak, di samping pamannya Makdum Sampang.
 Orang kelima pada daftar imam Masjid Demak yang disebut dalam Hikayat Hasanuddin ialah orang yang mendapat julukan Pangeran Kudus, sesuai dengan tempat tinggalnya kemudian. la juga terkenal dengan panggilan Pandita Rabani. Konon, ia putra Pengulu Rahmatullah. Menurut hikayat ini, kiranya ia telah dipanggil oleh Syekh Nurullah (yang kemudian akan menjadi Sunan Gunungjati dari Cirebon) untuk memangku jabatan imam. Buku Sadjarah Dalem silsilah keturunan antara Sunan Ngampel dan Sunan Kudus. Seharusnya ada lima keturunan, seperti yang disebutkan oleh Hikayat ini. Sunan Kudus dianggap sebagai salah seorang moyang raja-raja Mataram (menurut garis ibu).
Daftar lima imam Masjid Demak yang menurut Hikayat Hasanuddin telah memangku jabatan selama pemerintahan tiga (atau empat) raja pertama kerajaan itu (bandingkan Bab II-6, akhir) adalah sebagai berikut,
1.    Pangeran Bonang       : sesudah tahun 1490 sampai tahun 1506/12, dipanggil oleh "ratu"
                                          Demak.
2.    Makdum Sampang     : tahun 1506/12 sampai kira-kira tahun 1515, dipanggil oleh "ratu"
                                          Demak.
3.    Kiai Pambayun           : tahun 1515 sampai sebelum tahun 152, pindah ke Japara.
   4.   Pengulu Rahmatullah: tahun 1524- ditetapkan oleh Syekh Nurullah, yang kemudian menjadi Sunan Gunungjati.
Berdasarkan keterangan yang dikutip dari Hikayat Hasanuddin ini, dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan imam-imam yang pertama itu amat tergantung pada raja-raja Demak, pelindung mereka. Kemudian (mungkin waktu kekuasaan duniawi mereka atas jemaah di sekitar Masjid makin bertambah besar) mereka bersikap agak lebih bebas dan mempunyai hubungan dengan pemimpin-pemimpin rohani kota-kota lain. Yang disebut paling akhir pada daftar kelima imam itu, menurut cerita tradisi Jawa, memegang peranan penting dalam merebut kota raja Majapahit yang masih "kafir" itu.